Pembaca mulia, sebagai seorang muslim, kita tentu sering mendengar
–bahkan sejak kita kecil- bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling
jelas dan paling indah sehingga dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an,
bahasa umat Islam.
Namun, barangkali kebanyakan di antara kita sering timbul pertanyaan,
“Di mana letak keindahan bahasa Arab?” atau “saya membaca terjemahan
Al-Qur’an kok biasa-biasa saja, tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia
lagi atau jika disesuaikan, malah kaku jadinya” atau
pertanyaan-pertanyaan semisal.
Pembaca mulia, apakah kita pernah mempelajari bahasa Arab? Jika
jawabannya “Belum”, sangat wajar apabila pertanyaan-pertanyaan di atas
dapat muncul. Sesungguhnya siapa pun yang tidak menguasai bahasa Arab, tidak akan bisa mengetahui, di mana letak keindahannya.
Nah, untuk mengungkap seluruh keindahan bahasa Arab, tentunya tidak
akan cukup dalam satu artikel. Dalam kesempatan ini, penulis akan coba
ketengahkan salah satu rahasia bahasa Arab dalam hal preposisi (kata
depan) semata. Ya, sebatas preposisi pun mempunyai makna yang dalam.
Alasan ditulisnya artikel ini adalah ketika beberapa waktu yang lalu,
penulis mendapat undangan pernikahan dari salah seorang ikhwan. Dalam
undangan tersebut, tertera doa walimah
/baarakallahu lak, wa baaraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fii khair/ (Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري
/Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I
Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq:
Musthafa Abdul Qadir Atha, juz II, hal. 199, hadits nomor: 2745. Kitab
ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.)
Doa di atas, sering diterjemahkan: “Semoga Allah memberi berkah
padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Sekilas, terjemahan di atas sudah tampak benar. Akan tetapi,
terjemahan tersebut belumlah mewakili makna yang terkandung dalam doa
walimah tersebut.
Setelah melihat undangan tersebut, penulis menjadi teringat
penjelasan Al-Ustadz Al-Fadhil Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif tentang
perbedaan preposisi اللام dan على
dalam doa walimah secara khusus, dan dalam penggunaan bahasa Arab
secara umum. Hal ini beliau sampaikan ketika beliau memberi materi
dalam daurah bahasa Arab kelas takhossus Angkatan XI pertengahan tahun
2006 di Ma’had Al-Furqon Gresik. Beliau juga memberikan faidah tambahan
setelah menjelaskan makna doa walimah tersebut, yang insya Allah akan
penulis tuangkan dalam artikel ini.
Rahasia Preposisi اللام dan على
Pembaca mulia, bila dilihat secara leksikal, memang tidak salah apabila kita menemui kalimat:
Lalu kita terjemahkan,
“Semoga Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah
atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”
Pertanyaannya adalah, “Apakah pembaca dapat membedakan makna padamu
dan atasmu dalam terjemah doa walimah di atas? Tentu tidak bisa bukan?
Penjelasan
Pembaca mulia, preposisi اللام /laam/ secara harfiyyah artinya memang bisa diterjemahkan ‘pada’. Adapun على
/’alaa/ dapat diterjemahkan ‘di atas’. Akan tetapi, jika kedua
preposisi tersebut terdapat dalam satu kalimat secara bersamaan, makna
preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyyah’
pada’ atau ‘di atas’ lagi. Namun, makna اللام
menunjukkan makna yang baik, sedangkan menunjukkan makna yang buruk.
Oleh karena itu, jika memerhatikan hal ini, doa walimah di atas jika
diterjemahkan akan menjadi panjang, yaitu:
“Semoga Allah memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu dalam
keadaan harmonis, dan semoga Allah (tetap) memberi berkah padamu di
saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara), dan semoga
Dia (Allah) mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Nah, bagaimana arti di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis bisa muncul? Jawabnya adalah karena adanya preposisi اللام yang makna menunjukkan hal-hal yang baik jika disandingkan dengan preposisi على
dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah pernikahan,
sehingga diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang baik dalam
pernikahan adalah ketika pasangan hidup dalam keadaan harmonis.
Demikian pula sebaliknya, arti di saat rumah tanggamu terjadi
kerenggangan (terjadi prahara) dapat muncul sebagai terjemahan dari
preposisi على . Preposisi ini akan menunjukkan makna yang buruk jika disandingkan dengan preposisi اللام
dalam satu kalimat. Konteks kalimat di atas adalah penikahan, sehingga
diketahui secara pasti bahwa hal-hal yang buruk dalam penikahan adalah
ketika pasangan hidup mengalami kerenggangan atau prahara dalam rumah
tangganya.
Hal ini membawa pelajaran penting bagi setiap orang yang akan menikah
bahwa Nabi sudah mengisyaratkan dalam rumah tangga yang akan dihadapi
tidaklah selamanya dalam keadaan yang bahagia dan harmonis. Setelah
menikah nanti, seorang istri akan melihat sisi lain dari sang suami,
yang tidak ia ketahui sebelum menikah. Demikian pula sebaliknya, sang
suami akan melihat banyak hal yang tidak diketahuinya dari si istri
setelah ia bergaul dengan istri beberapa hari pasca pernikahan.
Pertengkaran sangat mungkin terjadi antara suami dengan istri, yang
bisa muncul karena adanya kecemburuan, kesalahan dari salah satu pihak,
bahkan karena adanya hal-hal sepele sekalipun. Dalam kondisi prahara
ini, Nabi mengisyaratkan bahwa Allah bisa akan tetap memberi berkah
pada suami istri tersebut. Bagaimana sikap suami ketika menghadapi
kesalahan istri, demikian pula bagaimana istri ketika menghadapi
kesalahan suami adalah hal-hal yang telah diajarkan dalam syariat
Islam.
Anggapan bahwa rumah tangga selamanya 100% akan harmonis, tanpa ada
perselisihan dan pertengkaran adalah anggapan yang keliru. Bagi yang
sudah menikah, tentu mengetahui hal ini. Nabi kita yang mulia, memberi
sifat bagi wanita bahwa mereka adalah kaca-kaca, sebagaimana dalam
sabdanya,
‘Lembutlah kamu kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)’
Dalam kitab Fathul Bari, dijelaskan bahwa wanita disamakan
dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi
tidak ridho, dan karena tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan
pikiran), sebagaimana kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima
kekerasan. (Periksa dalam Fathul Bari X/545)
Oleh karena itu, ulama jenius, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, memberikan nasihat kepada kita tentang wanita,
“…Sebuah kata yang Engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang Engkau ucapkan, bisa menjadikannya dekat di sisimu.” (Periksa dalam kitab Syarhul Mumti’, XII/385.)
Bahkan, Nabi sendiri juga menjelaskan bahwa sangat memungkinkan suami
akan mendapati hal-hal yang tidak ia kehendaki pada istrinya, tetapi
hal tersebut Nabi larang dijadikan alasan untuk membenci istrinya
tersebut, sebagaimana dalam sabda beliau
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah
(istrinya). Jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia
akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain)” (Lihat kitab صحيح مسلم /shahihil muslim/, karya مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري
/Muslim bin Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, cet.
Beirut: Daar Ihya’ At-Turats Al-’Arabi, juz. II, hal. 1091, hadits
nomor: 1469. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليق محمد فؤاد عبد الباقي /Ta’liq Muhammad Fuad Abdul Baqi/.)
Maka, benarlah apa yang pernah disampaikan Al-Ustadz Firanda bahwa,
“Suami yang paling sedikit mendapat taufik dari Allah dan yang paling
jauh dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh
kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan istrinya
dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya.
Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan,
apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya
menjadikannya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki
kebaikan.”
Ustadz Firanda juga menyampaikan bahwa di antara yang dilakukan
syaitan kepada suami tatkala marah kepada istrinya ialah dengan
berkata, ” Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak wanita yang
shalihah, cantik lagi.., ayolah jangan ragu-ragu…” Syaithan juga
berkata, “Cobalah renungkan jika Engkau hidup dengan wanita seperti
ini.., bisa jadi di kemudian hari ia akan membangkang kepadamu… Atau
syaithan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali
karena ia tidak menghormatimu.. atau kurang sayang kepadamu, karena jika
ia sayang kepadamu ia tidak akan berbuat demikian.”
—Selesai penjelasan Ustadz Firanda—
Demikianlah, syaithan berusaha memisahkan hubungan antara suami
dengan istri. Kesempatan yang tidak disia-siakan syaithan adalah ketika
suami melihat satu kesalahan istrinya, maka syaithan akan membisiki
sang suami untuk menjauhinya sampai menceraikannya. Namun, ingatlah
kembali lafadz بارك عليك ‘Semoga Allah memberi berkah kepadamu ketika kamu ditimpa prahara’ ketika manusia mengucapkannya di saat Anda menikah dulu.
Lalu, bagaimana agar Allah tetap memberi berkah ketika rumah tangga
ditimpa prahara dan pertengkaran? Ketika penulis berupaya menyusun
risalah untuk menjawab pertanyaan ini, penulis sudah membayangkan
berpuluh-puluh halaman untuk menyelesaikannya. Maka, hal tersebut akan
penulis sajikan dalam artikel tersendiri. Namun, satu kunci pembuka
untuk menjawab pertanyaan di atas adalah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ketahuilah bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika
Engkau ingin meluruskannya, maka Engkau akan mematahkannya. Oleh
karenanya, berbasa-basilah! Niscaya Engkau bisa menjalani hidup dengannya.” (Lihat Kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadrak ‘ala shahihain/, karya محمد بن عبد الله أبو عبد الله الحاكم النيسابوري
/Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I
Beirut, tahun 1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq:
Musthafa Abdul Qadir Atha, juz 4, hal. 192, hadits nomor: 7334. Kitab
ini dicetak bersama kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.)
Maka, benarlah perkataan Adh-Dhohak, “Jika terjadi pertengkaran
antara seorang dengan istrinya, janganlah ia bersegera untuk
mencerainya. Hendaknya ia bersabar terhadapnya , mungkin Allah akan
menampakkan dari istrinya apa yang disukainya.” (Periksa kitab Ad-Dur Al-Mantsur, II/465).
Sumber: http://alashree.wordpress.com
SUMBER :
http://badaronline.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar